Tuesday, November 25, 2008
MUG dari Yuni Kedai Digital #15 Magelang
Terima kasih, ya, Yun!
Semoga sukses dan barakah untuk Kedai Digital #15 Magelang-nya!
Monday, November 24, 2008
Aku Merindu-Mu
Aku rindu Bapak yang saat ini Kau dekap. (... aku yakin, janji-Mu adalah benar)
Aku rindu rumah-Mu. Aku merindu-Mu.
Semoga terpatri dalam hati:
Ya, Allah, aku datang memenuhi panggilan-Mu.
Friday, November 21, 2008
Detektif Conan
Kalo dihitung dari segi umur (hiii..), kayaknya udah terlalu udzur untuk mengkoleksi komik seperti ini ya. Tapi..., biarlah. Aku suka. Itu saja!
Wednesday, November 19, 2008
Membongkar Isi Tas
Tuesday, November 18, 2008
Pemenang Sayembara Desain Kawasan Gambut Banjar
Karya ini merupakan kolaborasi yang luar biasa dari teman-teman di Prodi Perencanaan Wilayah Kota dan Prodi Arsitektur. Selamat dan sukses untuk Jurusan Arsitektur UNS!
Monday, November 17, 2008
Muhrim-nya Ummul
- kakak laki-lakiku
- anak laki-laki tertua dari kakak laki-lakiku
- anak laki-laki bungsu dari kakak laki-lakiku
- anak laki-laki dari kakak perempuanku
- adik laki-laki ibuku
:-)
Friday, November 7, 2008
Pindah Rumah
Mbak Ana Hardiana, Mas Joko, Ratih, dan Suryo, TERIMA KASIH ya.... Semoga Allah SWT memberkahi keluarga Mas Joko dan Mbak Ana. Aamiin....
Wednesday, October 15, 2008
Kecanduan Nge-blog
Aku lagi seneng posting di http://ummul-orthodonti.blogspot.com
Aku menemukan komunitas ortho-blogger, yang bagiku mereka luar biasa. Walaupun terpisahkan oleh berbagai samudra dan benua, serta mereka memiliki warna kulit yang beragam, dengan berbagai bahasa, mereka memiliki persahabatan dalam menjalani "petualangan medis"nya. Masa-masa sulit dan menyakitkan mereka lewati dengan saling berbagi informasi dan saling memberi dukungan.
Aku menulis di blog ini pun tanpa beban. Tidak peduli bakalan ada yang mengaksesnya ataupun tidak. Karena selama ini cuma keponakanku tercinta yang baru belajar internet yang mengaksesnya, cuma kakakku yang membacanya, cuma Ibuku yang membacanya (itu pun setelah di-down load dan di-print di atas kertas, Iarena Ibuku memiliki keterbatasan penglihatan sehingga kesulitan membaca di layar komputer), cuma teman-teman dekatku yang sudi mampir ke blogku, cuma mahasiwaku yang mungkin iseng mengakses blogku, cuma mantan mahasiswaku yang sesama blogger, dan cuma orang-orang yang sekedar mampir (atau tersesat) di blogku kemudian memberikan komentar. Itu saja.
Tapi bagiku, mereka semua bukan "cuma" sekadar adanya.
Mereka adalah inspirasi-inspirasiku dalam aku menjalani hidupku.
terima kasih!
Tuesday, October 7, 2008
Laskar Pelangi (the movie)
Ada banyak alasan mengapa aku sangat ingin menonton film ini. Aku "jatuh cinta" pada 3 dari tetralogi Andrea Hirata (kok cuma 3? tetralogi kan 4? yup! karena yang 1 belum diterbitkan). Aku pemimpi. Aku berkecimpung di bidang pendidikan (pendidikan tinggi), tetapi aku juga sangat tertarik dengan pendidikan dasar. Aku sudah "meracuni" banyak orang untuk membaca novel Laskar Pelangi. Aku "diwajibkan" oleh seorang sahabat (yang "kebetulan" dia adalah sutradara dan tau banget mengenai perfilman) untuk menonton film ini. Aku sudah berjanji pada keponakanku Fathin dan Tsaqif (mereka masih ABG) untuk mengajaknya menonton film di bioskop. Dan, masih banyak lagi alasan lainnya.
Senin siang 6 Oktober 2008 (sebenarnya sudah bukan lagi hari cuti bersama ya), setelah pagi harinya Aji (keponakanku yang sudah gedhe) telah mendapatkan tiketnya dengan antri yang puanjaaang dan laaamaaa, maka acara nonton film Laskar Pelangi dimulai pada jam 13.50 wib.Aku menikmati setiap adegan di dalamnya. Nilai persahabatan, keberanian, punya keinginan yang kuat, sikap pantang menyerah menghadapi apapun, dan semangat yang tak kunjung padam dari murid-murid, serta pengabdian guru. Sebuah film yang sarat nilai.
Ada tawa dan tetes air mataku, karena hatiku ditingkahi adegan-adegan di film Laskar Pelangi...
kunjungi:
http://www.laskarpelangithemovie.com
"Putrenan", Mainan Masa Kecilku
Dua puluh lima tahunan yang lalu. Waktu yang cukup panjang. Ternyata Ibuku masih menyimpan "sisa-sisa" nostalgia permainan masa kecilku. Ibuku yang romantis melankolis! I luv u, Mom!
Ibu, ananda bukan lagi gadis kecil yang asyik masyuk dalam permaninan dan indahnya mimpi tentang putri-putri. Ananda memang Sang Pemimpi, tapi ananda tidaklah terlelap dalam tidur. Ananda menjalani dan menikmati hidup ini. Mohon doa restu Ibu.
Monday, October 6, 2008
Mudik
Bagiku, dengan "berada" dalam ruang yang aku "dulu pernah", merupakan kenikmatan atas kerinduan terhadap ruang. Tentu saja setting sudah berbeda. Jendela yang dulu kokoh, kini telah melapuk. Sungai jernih yang dulu aku "dus-dusan" (baca: main air, mandi), sekarang tanpak lebih kotor dan "cethek" (baca: dangkal). Tanah lapang yang dulu aku bisa berlari dan bersepeda mini, kini telah sesak oleh bangunan. Rumah tetangga yang dulu aku sering duduk-duduk di teras rumahnya sambil disuapin makan oleh Mbak Iyah (almh), kini telah berubah. Banyak yang telah berubah. Tapi jejaknya masih tetap ada. Sedikit romantisme masih tersisa.
Bertemu kembali dengan orang-orang di masa laluku. Yang dulu saat kutinggalkan kampungku, adalah bayi baru lahir, kini sudah menjadi gadis remaja atau pria belia. Yang dulu anak-anak kecil adik sepermainan, sekarang sudah jadi orang dewasa. Yang dulu adalah teman sepermainanku waktu aku masih anak-anak, sekarang bertemu lagi masih tetap bermain, tetapi tentu bukan denganku, dengan anak-anaknya. Mereka sudah dipanggil Bu atau Pak oleh anak-anaknya. Yang dulu kakak sepermainan pun tak jauh berbeda, hanya gurat-gurat ketuaan yang lebih nyata. Yang dulu tua, sekarang tampak tuaaaa sekali. Ternyata waktu tak bisa menipu. Dan di luar yang aku sebutkan itu, ternyata ada yang sudah tidak bisa aku bertemu lagi, karena mereka telah dipanggil-Nya.
Sembilan hari menyusuri masa lalu. Wow!
Aku bersyukur atas perjalanan waktu.
Mudik? Aku masih membutuhkannya, untuk aku bisa lebih bersyukur.
Friday, September 26, 2008
Melakukan Hal-hal Kecil
Aku merasa, aku tidak melakukan langkah besar. Aku tidak melompat terlalu tinggi. Aku tidak mimpi terlalu muluk.
Biasa-biasa saja.
Monday, September 15, 2008
Tektonika Arsitektur Eko Prawoto
Thursday, August 21, 2008
Arsitektur yang Memerdekakan
(bersambung)
Sunday, August 17, 2008
MERDEKA....!
Merdeka...
Merdeka?!
Merdeka?
Kita sudah merdeka?!
Aku sudah merdeka?
Kayaknya harus aku pertanyakan ulang.
Kalo berjuang, aku masih tetap berjuang.
Walaupun hanya dengan melakukan hal-hal kecil.
Termasuk membangun mimpiku.
Thursday, August 14, 2008
Go Green!
Sehijau apa ya aku ini? Aku belum sepenuhnya hijau. Baru berusaha hijau.
Setidaknya dengan memisahkan antara sampah basah dan sampah keringku, aku berusaha menjadi lebih hijau. (sampah kering kumasukkan ke tas kresek putih, dan sampah basah dalam tas kresek hitam)Dengan memisahkan sampah yang bisa aku buat kompos, dan kubuatlah kompos di halaman belakang rumahku, aku berusaha menjadi hijau.
Dengan memisahkan sampah tissue bekas dengan sampah lain, kemudian tissue bekas tersebut aku ikutkan dalam pembuatan kompos, aku berusaha "menebus dosa" dan kembali hijau. (aku belum bisa lepas dari ketergantunganku pada tissue yang telah turut andil dalam membuat hutan kita tak sehijau dahulu, maafkan aku)
Dengan memisahkan biji buah yang aku makan, kemudian aku tanam di halaman belakang rumahku, aku berusaha bisa membuat bumi lebih hijau. (sebenarnya lebih sering aku "lempar" ke halaman belakang daripada aku tanam manis dalam pot)Aku berusaha hijau. Naif?
Saturday, August 9, 2008
Eko Prawoto's
Pembelajaranku tentang tektonika belumlah usai. Apalagi setelah berdiskusi dengan Pak Eko Prawoto, yang bisa dibilang sebagai "murid" YB Mangunwijaya. Dari diskusi dan mengalami "rasa ruang" di karya Pak Eko Prawoto, aku mencoba menuliskan dalam beberapa artikel. Menulis bagiku juga merupakan proses pembelajaran yang mengasyikan. Semoga segera setelah ini aku bisa posting supaya aku bisa lebih berbagi cerita. Semoga pula, kali ini lebih "arsitektural", bukan sekedar mimpi.
Monday, August 4, 2008
Orthodonti
Aku cuma punya keinginan untuk berbagi aja. Semoga bermanfaat.
Sunday, August 3, 2008
Jelajah Pusaka Museum Solo
Thursday, July 31, 2008
Ada Banyak Mimpi di Sini
Wednesday, July 30, 2008
Browsing Internet @ City Walk Solo
Tapi yang jelas, aku cuma pengin punya pengalaman nongkrong di City Walk aja. Aneh juga rasanya, udah lama di Solo, tapi aku malah jarang nongkrong di Solo, termasuk di city walk-nya.
Maunya aku bikin tulisan juga tentang makna jalan, dan lokasi yang aku ambil di penggal Jalan Slamet Riyadi Solo ini.Sore ini aku mau menikmati suasana di city walk Solo.
Wednesday, July 23, 2008
PAMERAN KARYA MAHASISWA dan PAMERAN TEGANG BENTANG
Di abad ke-20, masyarakat Indonesia mulai bersinggungan dengan modernitas. Salah satu karakter dari modernitas adalah adanya pertentangan, yang muncul karena keinginan untuk tidak mengikuti apa yang sudah dianggap sebagai kemapanan.
Pameran tegang bentang merupakan pameran yang bermaksud untuk memperlihatkan kepada pengunjung adanya sebuah pertentangan yang juga terjadi di antara para arsitek yang bekerja di Indonesia. Pertentangan ini ada untuk menciptakan tatanan baru yang dianggap lebih baik
daripada yang sebelumnya. Para arsitek muda Belanda yang bekerja di Indonesia di paruh awal abad ke-20 menentang kecenderungan arsitektural karya-karya perwira zeni. Ghijsells, Thomas Karsten dan Maclaine Pont adalah arsitek-arsitek muda progresif di masanya. Di Indonesia masa pasca-1945, pertentangan antara pemikiran arsitektur juga dilakukan oleh para arsitek Indonesia. Misalnya di masa Sukarno ada Sujudi dan rekan-rekannya yang tergabung dalam sebuah kelompok diskusi, bernama Atap. Di dekade 1980an ada Atelier 6 dengan konsep regionalisnya; lalu di sekitar awal 1990an muncul AMI (Arsitek Muda Indonesia), yang mencoba mengangkat keberagaman ide arsitektural di Indonesia.
Pameran ini juga bernilai pendidikan tidak hanya bagi masyarakat arsitektur (professional, akademisi dan mahasiswa) tapi juga masyarakat pada umumnya terutama pendidikan 'arsitektur' yang benar bagi anak-anak sejak dini untuk lebih menghargai dan memahami 'ruang'
di mana dia tinggal dan beraktivitas. Pada pameran ini akan ditampilkan dan dipilih karya-karya arsitektur di Indonesia pada masa abad 20 yang dapat menunjukkan dan mengajarkan bagaimana sebuah ruang yang berkualitas dapat diciptakan dan menjadi sebuah tempat yang
nyaman bagi masyarakat.
Pameran Tegang Bentang yang diselenggarakan di lingkungan kampus Jurusan Arsitektur UNS merupakan salah satu rangkaian kegiatan tahunan bekerjasama dengan Pusat Dokumentasi Arsitektur Jakarta. Pemeran ini dilaksanakan bersaman dengan pameran karya mahasiswa Jurusan Arsitektur UNS yang diselenggarakan selama bulan Juli-September 2008.
Selama bulan pameran Juli – September 2008, juga diadakan agenda kegiatan diskusi.
A). PEMBUKAAN PAMERAN
"Karya Mahasiswa & Tegang Bentang 2008"
Sabtu, 26 Juli 2008
Waktu : 09.30-15.00 WIB
Tempat : Kampus Fakultas Teknik Jurusan Arsitektur UNS Surakarta
B). Diskusi Bersama Ir. Revianto,. M. Arch
Selasa, 5 Agustus 2008
Waktu : 09.30-12.00 WIB
Tempat : Kampus Fakultas Teknik Jurusan Arsitektur UNS Surakarta
Ruang 203 lantai 2 gedung 2
C). Diskusi Bersama Ir. Eko Prawoto., M. Arch
"Tegang Bentang Karya Eko Prawoto"
Selasa, 12 Agustus 2008
Waktu : 15.00-18.00 WIB
Tempat : Kampus Fakultas Teknik Jurusan Arsitektur UNS Surakarta
Ruang 203 lantai 2 gedung 2
D). WORKSHOP GREENMAP SOLO
"Lingkup Kampus Kecilku"
Selasa, 19 Agustus 2008
Waktu : 09.00-15.00 WIB
Tempat : Kampus Fakultas Teknik Jurusan Arsitektur UNS Surakarta
Pembicara : Greenmap Jogja
F). Diskusi Pengalaman Praktisi
"Suistainable Construction"
Selasa, 09 September 2008*
Waktu : 09.00-12.00 WIB
Tempat : Kampus Fakultas Teknik Jurusan Arsitektur UNS Surakarta
Pembicara : Holcim
* Tentatif
H). PENUTUPAN PAMERAN
"KEKINIAN ARSITEKTUR di INDONESIA"
Selasa, 16 September 2008
Waktu : 15.00-18.00 WIB
Tempat : Kampus Fakultas Teknik Jurusan Arsitektur UNS Surakarta
Pembicara : Dari Mahasiswa untuk Mahasiswa
Kontak person :
Ummul 081578763419, Sekar 0856 4388 2770, Farikha 08564 725 0662
Fakultas Teknik Jurusan Arsitektur
Univeristas Sebelas Maret
Jl. Ir Sutami 36 A, Surakarta 57416
Sunday, July 13, 2008
Friendster
Jadi buat apa ikut "trend" bergabung dengan friendster? Tapi untuk sekedar menanggapi invite teman ya aku ikut gabung aja, asal udah sign up. Data yang aku isikan hanya ala kadarnya, nggak ada foto yang di-up load, nggak ada apa-apanya deh. Kalaupun ada yang minta add, kadang aku cuekin.
Eh ternyata anggapanku salah. Ketika suatu saat saat aku "menengok" kembali friendsterku, aku sadar banyak orang yang masih pengin nyambung silaturahmi di dunia maya. Apalagi, saat "tuntutan pekerjaan" untuk membuat tracer study alumni (pekerjaan yang sedikit merepotkan nih), aku bingung nyari data. Aku "iseng" menyusup friendster alumni dan dari situ aku bisa mendapatkan peta global sebaran alumninya.
Aku juga menemukan keasyikan bisa mengenal lebih jauh temen-temen mahasiswa lewat friendster-nya. Ada gambaran karakter yang seru dan sangat beragam. Semoga dengan mengenali karakter mahasiswa, aku bisa lebih bijaksana sebagai fasilitator pembelajaran bagi mereka.
Semoga...
Saturday, July 5, 2008
Dibeliin Buku oleh Ibu
Tapi sekarang, setelah punya kartu ATM, Ibu semakin "kalap" kalo belanja buku. Aku yang kadang kala "membatasi" diri (eh..jujur sih... secara finansial) untuk nggak ikut-ikutan "kalap", dengan alasan, "...aku kan cuma nganter Ibu, nggak beli buku kok..., bener, nganter aja...", malah jadi untung. Lho, kenapa? Haa..haa..haaaa, ya pastinya Ibu akan menawari..."Udah, ambil aja buku yang Ummul mau... Ibu yang bayar!"
"Horeeee...!", kalo yang ini aku nggak bakal nolak. Aku nggak perlu gengsi-gengsian, udah punya "gaji" sendiri kok masih dibayarin Ibu yang pensiunan....! Aku seneng banget! Ibu pun sampe heran melihat kegiranganku....
(eh... Ibu tau nggak ya... mimpiku kan punya taman bacaan... Bu, do'akan semoga segera terwujud ya...)
Terima kasih, Ibu!
Sunday, June 29, 2008
Selasa Bersama Morrie
Bagi Micth Albom, kesempatan kedua yang dia dapatkan itu adalah karena suatu keajaiban yang mempertemukannya kembali dengan mantan dosennya, Morrie, pada bulan-bulan terakhir hidupnya. Keakraban yang segera hidup kembali di antara murid dan guru itu sekaligus menjadi "kuliah" terakhir: kuliah tentang cara menjalani hidup.
Ini bukan kali pertama aku membaca buku ini. Tetapi aku sangat terinspirasi dari "kuliah" ini.
Kepada para guru yang pernah mendidikku, aku menghaturkan terima kasih.
Semoga, ilmu yang engkau berikan padaku, bisa aku bagi kepada murid-muridku.
Kalau di dunia bisnis MLM (multi level marketing), dalam dunia pendidikan pun akan ada multi level penyebaran ilmu. Semoga "guru"-ku akan menempati level tertinggi, mendapatkan amal jariah... aamiin...
Saturday, June 28, 2008
Mimpi Pasar Magelang
Waktu itu aku mengawali proses desain dengan mempelajari figure-ground kawasan. Aku mencari pola-pola yang ada. Menganalisis raut figure, mencari “garis” yang bisa menjadi acuan berdasarkan pola-pola pembentuk figure maupun ground-nya, menganalisis jalur pergerakan moda transportasi, hingga melihat potensi sungai sebagai river walk, merupakan tahapan yang aku lakukan. Aku membayangkan ruang saat melintasi jalan di depan pasar, yang bisa dimanfaatkan untuk “menyambut” orang yang akan datang memasuki Kota Magelang dari arah Jogja. Gubahan massa yang aku lakukan adalah dengan membuat grid yang sejajar dengan jalan eksisting di depan pasar, menumpuk di atasnya lagi grid yang sejajar dengan jalan masuk ke Magelang, meletakkan massa-massa di berdasarkan grid pertama, meletakkan massa lagi di atasnya mengikuti grid kedua, memotong massa, menjebol massa hingga seolah-olah massa tersebut ditembus jalan kecil yang miring menyerong hampir diagonal ke massa utama.
Di tepi sungai yang berbelok,
(Eh ini yang aku ceritakan desainku “jaman dulu” lho… Jadi maklum aja, kalo pertimbangan desainnya masih “segitu doang”, aku kan waktu itu masih banyak tulalitnya, nggak nge-dhong)
Pada waktu itu, aku benar-benar nikmati proses desainnya. Acara survey menjadi agenda yang aku nantikan. Nglembur sampai tidur di kampus sangat aku nikmati. Diskusi dengan temen-temen satu studio menjadi hal yang mengasyikkan bagiku. Herannya, saat itu aku tidak beroreintasi pada “ntar dapat nilai berapa ya?”. (Eh perlu diketahui, aku akhirnya dapat nilai A, yuuhuuuiii..! Aku pun girang banget! Aneh?!)
Sebenarnya, proses desain bagiku sama seperti merangkai mimpi. Tapi mimpi (baca: desain) ini lebih terukur dan “meruang”.
Ah... aku masih bermimpikah?
Thursday, June 26, 2008
Mimpi Masa Kecil
Gambar ini aku buat ketika aku kelas 1 Sekolah Dasar. Entah apa yang aku pikirkan ketika membuat gambar ini. Lihatlah tangan-tangan yang terbuka. Kecerahceriaan dan kehangatan penyambutannya. Sederhana, namun indah.
Melihat kembali gambar tersebut, membuat aku semakin ingin membuka hati dan pikiranku, untuk bisa berbagi dengan sesama. Semoga aku bisa mewujudkannya.
Monday, June 23, 2008
Sunday, June 22, 2008
Aku Bersyukur
Tuesday, June 17, 2008
Pulang
Pulang kampung bagiku seperti men-charge jiwaku yang lelah dalam berpetualang, menjalani roda kehidupan. Seperti memutar ulang waktu, saat aku bisa kembali ke masa kecil nan indah. Masa kecil yang penuh mimpi sederhana, dan aku bersyukur beberapa impian masa kecilku telah terwujud.
Pulang ke rumah, aku menyusuri kembali kisah tumbuh kembangku. Pulang ke rumah, aku termenung kembali di sudut favorit di rumahku. Dulu, aku selalu membingkai anganku (juga mimpiku) di sudut ini. Saat pulangku kali ini, bingkai itu telah usang, namun gambaran kehidupan yang terjadi dalam bingkai tersebut selalu dinamis. Aku bersyukur atas semua perjalanan kehidupan yang diberi-Nya. Entah mengapa, setiap aku pulang, selalu aku melihat bingkai ini. Dalam bingkai usang itu, aku pun kembali membuat impian baru untuk masa depanku. Kini jiwaku kembali segar.
Alhamdulillah...
Tuesday, June 10, 2008
Friday, June 6, 2008
Keluarga Besar Jurusan Arsitektur UNS
Monday, June 2, 2008
Silaturahmi
Pagi tadi, "kebetulan" terjadi lagi. Kebetulan ada seorang gadis yang menyapa, "Mbak-nya yang kemarin ke Lembah Hijau ya?". "Lho kok tau?" pertanyaan tersebut kujawab dengan pertanyaan. Ternyata Mbak Pipit, nama gadis tersebut adalah dokter hewan di Lembah Hijau Multifarm. Ceritanya jadi nyambung deh! Bukan hanya bercerita tentang sapi-sapi yang setiap hari di-gaul-i Mbak Pipit, ceritanya melebar. Dari hal ini aku jadi merasa "dunia ternyata sempit" ya. Silaturahmi jadi nyambung.
Kejadian seperti ini sebenarnya bukan yang kali pertama. Sering aku menyambung silaturahmi dengan beberapa orang yang dulunya "tidak kenal", hingga kenal, kenal sangat baik, bisa saling tau, saling tukar informasi dan pada tahapan tertentu bisa saling memahami. Mungkin orang "bule" menyebut perlunya net work untuk bisa mendapatkan atau mencapai sesuatu dalam bisnisnya. Tetapi, berdasarkan pengalamanku, aku sering sekali mendapat berbagai kemudahan kerena hubungan silaturahmi yang baik (tentu saja: secara kuantitas dan kualitas). Beberapa pekerjaan, aktivitas, ilmu, bahkan rejeki (orang suka menyebutnya penghasilan: uang, harta dan sebagainya) yang aku terima, jalannya atau salurannya adalah melalui silaturahmi yang baik.
Aku percaya, Allah yang memberi rejeki, dan rejeki tersebut tidak bisa diduga dari mana datangnya. Aku percaya, silaturahmi adalah salah satunya.
Senyum, dan sambung silaturahmi yuuuk....
Sunday, June 1, 2008
Mimpi tentang Bumi
Aku awalnya sekedar jalan-jalan saja, memanfaatkan waktu sebelum "libur" akhir pekan yang sebenarnya. Berbekal informasi bahwa ada yang menjual susu segar, aku mencoba menyusuri "susu" tersebut. (Oya.. aku penggemar susu, laktosaholic, eh apa pun namanya. Yang jelas, jika dalam satu hari aku tidak mengkonsumsi susu, aku bisa "sakaw", rasanya perut keroncongan sehari penuh, sugesti bahwa aku akan menjadi kurus kering bisa muncul di benakku... aneh..).
Apa yang aku temukan? Lebih dari sekedar susu!
Di Lembah Hijau, aku menyaksikan peternakan dan pertanian terpadu. Selain pasti menghasilkan produk pertanian dan peternakan, konsep ke depannya, bisa zero waste.
Tai-nya (kotoran-eek) sapi-sapi diolah menjadi kompos. Kompos bisa menyuburkan tanaman dan padi. Batang padi sisa panen yang sudah difermentasi untuk pakan sapi. Begitu seterusnya.
Wah, jika saat ini semua orang di bumi ini bisa konsisten menerapkan konsep zero waste, bumi yang sekarang kita pinjam dari anak-cucu kita, tidak perlu dipenuhi sampah yang menutupi permukaannya. Anak cucu generasi mendatang yang kini belum lahir, yang dari merekalah bumi ini kita pinjam, pasti akan senang menerima bumi mereka untuk kehidupannya kelak.
Hei..ingat! Bumi ini bukan bumi milik kita yang bisa kita wariskan ke anak cucu kita. Bumi ini justru bumi milik anak cucu kita generasi yang akan datang, bumi inilah yang sekarang kita pinjam dari mereka.
Mimpikah ini?
Semoga bukan mimpi.
Tuesday, May 27, 2008
Menjadi (Lebih) Terbuka
Dengan adanya blog ini, aku bisa bercerita apa saja. Aku bisa lebih terbuka. Tidak perlu malu, toh yang aku tuliskan adalah ”masa lalu”ku. Karena sebenarnya ”aku” yang aku tulis, adalah aku beberapa menit yang lalu, aku beberapa jam yang lalu, atau aku beberapa tahun yang lalu, aku di masa lalu. Kalaupun bercerita tentang mimpi, aku tak tau variabel waktunya, apakah ”terjadi” saat dahulu, kini atau masa datang. Tak perlu dibahas, toh ”sekedar mimpi”. Kalo nggak suka, ya terjagalah, bangun dari mimpi.
Menjadi (lebih) terbuka, bukan vulgar. Aku ingin memiliki pikiran dan hati yang lebih terbuka, bukan raga yang terbuka. (Aku masih ”menghormati” UU Anti Pornografi dan Pornoaksi lho!)
Monday, May 26, 2008
Terima Kasih
Thursday, May 22, 2008
Mengenal diri sendiri
Seiring putaran jam, hari, minggu, bulan dan tahun, kini aku mengenal diriku lebih dalam. Aku semakin nyaman menjalani hidupku. Aku mencintai diriku lebih mesra. Aku bisa menerima ”kekuranganku” dengan lebih legowo. Aku lebih jujur (setidaknya pada diriku sendiri). Aku menjalani waktuku lebih bermakna. Aku memiliki kesadaran waktu dan tempat dengan lebih indah.
Tapi di balik semua itu, secara jujur ku akui, aku pun punya ketakutan dalam mengenali dan menilai diri sendiri. Subyektifitas pasti ada dalam ber-aku-aku. (Coba saja, hingga kalimat ini, ada berapa “aku” dan “-ku” yang tertulis). Subyektifitas yang menginginkan untuk aku bisa dinilai “sempurna”, atau “pura-pura sempurna” tentu ada dalam benak dan hatiku. Tetapi aku pun letih jika harus berpura-pura selalu.
Ketakutanku terobati manakala aku bertemu dengan sahabat-sahabat sejatiku, yang bisa jadi mereka mengenali aku dengan lebih obyektif atau bahkan mengenali aku lebih dari aku mengenali diriku sendiri. Mereka adalah sahabat yang mampu dan mau memberikan kritik (mungkin pedas dan menyakitkan) serta masukan (yang akan berbuah manis dan menyegarkan). Hidup bersama mereka membuat aku lepas, tanpa harus berpura-pura. Aku menjalani hidupku dengan kejujuran.
Sahabat-sahabatku, terima kasih, telah membantu aku mengenal diriku sendiri.
Tuesday, May 20, 2008
Arti Kebangkitan
Banyak sekali retorika yang mengungkap kebangkitan, dengan segala formula yang beragam. Banyak pilihan yang ditawarkan untuk merenungkan arti kebangkitan. Tapi, bagaimana formula tersebut bisa berlaku untukku?
Aku yang pemimpi memaknai kebangkitan ketika aku terbangun dari tidur dan mimpiku. Mimpi buruk harus kuhapus saat aku terbangun. Mimpi indah akan aku gapai dalam kenyataan di rentetan perjalanan hidupku. Kebangkitan bagiku adalah juga saat aku terbangun dari kegagalan dalam menggapai mimpi. Aku tak akan membiarkan diriku dalam keterpurukan. Walaupun terkadang ada buliran air mata di atas duka dan luka. Sang waktu akan bergulir cepat menghapus air mataku, dan memberikan harapan baru. Mimpi di depan mata kembali terbentang, dan jalan untuk menggapainya semakin terang.
20 Mei 2008, harapan baru, bangkit dan berbuat menjadi manusia yang lebih baik.
Friday, May 16, 2008
Meraih Mimpi (bagian 4)
Setelah membaca buku "The Secret"-nya Ronda Bryne, aku jadi membandingkan apa yang telah aku alami. Hukum "rahasia" juga berlaku dalam hidupku. Ada hal-hal yang "aku capai", atau beberapa hal yang "aku menjadi" adalah sebagian dari mimpi-mimpi masa laluku.
Agak berbeda dari sudut pandang Bryne, aku memahami bukan alamlah yang mengantarkan aku pada keinginanku (baca: mimpi-mimpiku), tetapi ada Allah SWT yang menggerakkan alam semesta untuk bersatu padu mendukungku menggapai mimpiku. Tak penting membahas bagaimana cara Allah melakukannya, karena banyak cara-Nya tidak bisa dijabarkan dengan "penjelasan ilmiah".
Di titik ini, sejenak aku berhenti, untuk bersyukur atas segala karunia-Nya dalam perjalanan hidupku.
Namun aku pun tetap menjaga segalanya untuk perjalanan hidupku selanjutnya, yang masih merupakan "rahasia" bagiku.
Alhamdulillah...
Aku melanjutkan perjalanan hidupku dengan mengucap Alhamdulillah..
Thursday, May 15, 2008
Menuliskan Mimpi
Tulisan tentang mimpi merupakan tulisan yang terbebaskan dari seluk-beluk data ilmiah ( atau apa pun namanya, yang harus dipertanggungjawabkan di depan para pakar). Aku bebas menuliskan mimpiku. Mungkin juga tanpa rasa malu (he..he.. emang nggak punya rasa malu dhiing..).
Tiap malam, di lelap tidurku, aku bermimpi. Kadang kala, ketika terbangun, aku bisa menceritakan kembali dengan berututan, jelas, detail, bahkan aku bisa menyebut setting tempatnya dengan jelas. (Kalo "dipaksa", aku juga bisa membuat setting tempatnya berikut background yang agak remang-remang, tapi warnanya jelas tertangkap oleh memoriku).
Namun, aku juga bisa lupa tentang mimpi yang aku alami dalam tidurku. Lenyap begitu saja ketika aku terbangun.
Ketika aku terbangun, nggak jarang aku "melanjutkan mimpi", karena seringkali aku bermimpi tentang hal-hal yang aku inginkan atau hal-hal memang ingin aku wujudkan. Seperti lingkaran tak berujung pangkal. Memimpikan hal yang diinginkan, menginginkan mewujudkan mimpi. Ah.. nggak usah dibahas di mana pangkal dan di mana ujung, tak penting bagiku.
Sewaktu aku kecil, aku hampir selalu menceritakan mimpiku (yang masih bisa aku ingat ketika terbangun) pada Ibuku, saudara-saudara, atau temen-temenku... (dan juga pada relawan yang sudi mendengarkan cerita mimpiku). Kebiasaan yang aneh? Entahlah...
Ayoooo kita bermimpi yuuuk...
Wednesday, May 14, 2008
Thursday, April 10, 2008
Wednesday, April 9, 2008
Senyum (bagian kedua)
Senyum bagiku bukan hal baru. Tapi baru kali ini aku kepikiran untuk menuliskannya. Teori tentang senyum yang bisa menular sudah terbuktikan dengan jelas. Setidaknya dalam pengalaman perjalanan bersepada yang aku ceritakan kemarin.
Teori II: Senyum bisa membuat kita lebih kreatif.
Aku bekerja di bidang arsitektur, yang jelas-jelas butuh kerja kreatif. Menurut sebuah buku psikologi populer yang pernah aku baca, pada kerja kreatif ini untuk memunculkan ide-ide inovatif dituntut kondisi otak yang ”flow”. Bagaimana caranya agar otak bisa mencapai kondisi ”flow”? Ternyata kuncinya sangat sederhana: SENYUM.
Teori ini sudah aku buktikan ketika mengajak mahasiswa-mahasiswaku membuat suatu desain. Saat diawali dengan senyuman, proses desain jadi lebih menyenangkan dan hasilnya bisa ditebak: ide-ide desain mereka beragam dan penuh inovasi!
Sering aku mengingatkan mahasiswa-mahasiswaku (dan juga mengingatkan pada diriku sendiri), untuk selalu mengawali proses desain dengan senyuman. Bahkan beberapa mahasiswa selalu berkata, ”OK..OK.., senyum, Bu...” Pesan yang sangat sederhana, tetapi cukup lekat di hati mereka.
Mereka tersenyum, dan aku pun membalas dengan senyuman.
(Hey....! Maaf saat ini senyumanku tidaklah tampak sempurna karena kawat orthodenti yang terpasang di gigiku, tapi yang jelas... senyumku tulus dari hatiku terdalam....)
Senyum. Semoga senyum bisa menjadi tambahan amal ibadah yang indah.... Aamiin...
Tuesday, April 8, 2008
Senyum (bagian kesatu)
Tapi Sabtu pagi ini, entah ada energi dari mana yang bisa mengeyahkan kantukku. Segera aku berganti baju, kemudian mengeluarkan sepeda.
Sepedaan pagi hari.
Cukup lama aku tidak melakukannya. Sepedaan, muter perumahan dan kampung di sekitar Jaten. Mengayuh sepeda kesayangan, santai, bisa tengak-tengok, liat kiri kanan. Dengan kecepatan yang tidak lebih dari 20 kilometer per jam, hal tersebut sangat mungkin dilakukan dengan aman. Namun hal yang paling menarik bagiku adalah: ketika ketemu dengan mbok-mbok yang mau pergi atau pulang dari pasar, bapak-bapak yang lagi di sawah, orang jualan di pinggir jalan, atau adik-adik kecil yang masih polos yang menanti datangnya pagi untuk bisa segera bermain. Ada hal ajaib yang aku rasakan, saat pertemuan-pertamuan itu dihiasi dengan senyuman.
Aku yang sekedar lewat, mencoba tersenyum. Kadang juga basa-basi doang. Tapi ternyata... dari mbok-mbok, pak-pak, dan adik-adik yang aku temui, senyumku tersebut sering kali dibalas dengan senyuman yang jauh lebih indah disertai sapaan yang sangat ramah, dan ketulusan senyum-senyum itu bisa aku rasakan. Upsh.. pagi yang indah, karena aku ditunjukkan bukti nyata bahwa senyum bisa menular! Hebatnya lagi, senyuman yang menular tersebut akan terpantul dengan senyuman yang lebih tulus.
Pagi yang indah, penuh dengan senyuman... bekal bagiku untuk bisa berakselerasi mengarungi hari, merajut hari untuk bisa mewujudkan mimpi.
Besok pagi bangun pagi lagi yaa.... tebarkan senyum, dan menuai senyuman yang jauh lebih indah.
Monday, March 31, 2008
Thursday, March 27, 2008
Wednesday, March 26, 2008
Monday, March 24, 2008
Thursday, March 13, 2008
Pencerahan
Monday, March 3, 2008
Sebuah Perjalanan (bagian ketiga)
Yang ini benar-benar melangkahkan kaki, karena di sore itu, kami ”para wanita” berempat, mencoba berjalan kaki, menyusuri Jalan Diponegoro ke arah utara dari Hotel Rai. Tanpa menghitung jumlah langkah, kami merasakan pedestrian yang terukir cantik dan disediakan untuk kaum difabel. Agak berbeda dengan pedestrian untuk difabel yang biasa kami temui di Jogja atau Solo, di Jalan Diponegoro ini ada sentuhan akhirnya, karena di pinggir tegel kuning terpasang koral sikat yang cukup jelita. Ya, Bali tetep bersolek.
Setiba di perempatan Bank Permata, kami berbelok ke kanan. Jalan aspal satu arah membuat pemandangan begitu lengang. Dengan latar belakang bangunan yang ”berasa” Bali, atau entah ada tempelan yang dipaksakan agar ”berasa” Bali, kami menikmati frame demi frame suatu sisi di Denpasar. Mendung menggelanyut tak bisa mematahkan keinginan kami untuk menyusuri pedestrian yang kini tak secantik pedestrian di Jalan Diponegoro.
Sambil berjalan, berkecamuklah di benakku, bangunan-bangunan manakah yang ”Bali”?
[Di Bali ada (banyak) Mc D]
Di perempatan berikutnya, yang tertangkap jelas oleh mataku adalah brand ayam goreng dari negeri Paman Sam. Hari gini, siapa sih yang nggak kenal McD? Ya, Mc Donald sudah menggurita di seluruh bumi. Di sejengkal Bali saja, ada berapa out let waralaba ini. Belum lagi, McD juga secara mencolok mengibarkan bendera dagangnya dan yang pasti berpengaruh juga pada tampilan arsitekturnya.
Tampilan luar bangunan yang “berasa” Bali, tidak seirama dengan interiornya. Rasa Bali benar-benar hilang ketika aku berada dalam ruang makannya. Kecuali harum dupa yang dibakar, tak ada yang bisa membedakan di McD mana aku berada, apakah di Jakarta, di Jogja, di Solo, atau di Denpasar.
Tuesday, February 19, 2008
Sebuah Perjalanan (bagian kedua)
Beberapa saat sebelum senja membuat langit menjadi jingga, di Porong Sidoarjo, Sri Tanjung melintas dengan perlahan. Bukan keangkuhan yang disajikan. Bukan pula keinginan untuk melesat. Lihatlah di sekitar rel itu. Genangan lumpur Lapindo ternyata masih manis bertahan di sela-sela rel. Patuh pada takdirnya untuk kembali mengalir menuju tempat terendah, mencari celah di antara menjulang gagahnya tanggul, lumpur becek itu pun tetap mengalir dan kadang kala diam tergenang. Pemandangan di sisi kiri rel cukup menarik perhatian kami.
Bibir sibuk mengomentari dan membahas “Lusi” (nama kerennya Lumpur Sidoarjo). Mata tak henti memandang ke gundukan tanggul, sambil sibuk menggambil gambar dengan kamera, baik berupa foto maupun video. “Bisa buat oleh-oleh cerita nih..., setidaknya pernah lewat di Porong. Siapa tau kelak benar-benar tinggal kenangan, karena benar-benar terbenam lumpur,” ungkapan yang terdengar dari sampingku. Ya, siapa tau ya.. memang kemungkinan ini bisa terjadi. Kapan lumpur mau berhenti mencuat dari dalam perut bumi kan belum ada yang bisa memastikan.
[Ketapang, Banyuwangi...]
Hampir tengah malam. Untunglah aku bukan Cinderalla, yang harus terburu-buru pulang meninggalkan pesta, sehingga aku masih bisa menikmati hembusan angin laut di Pelabuhan Ketapang Banyuwangi. Kami akan menyeberang Selat Bali. Perlu menyiapkan KTP (Kartu Tanda Penduduk) nih!
Kembali, adegan sebuah iklan rokok mulai ditayangkan dalam benakku.
Bali... Bali... Baliiii.... Berasa lebih!
Sesaat sebelum tengah malam, feri yang kami tumpangi membelah riak ombak Selat Bali. Bak kain sutra yang membentang, lembut halus, dan malam itu nyaris tanpa ombak, Selat Bali seperti ramah menyambut kami. Dalam kelam malam, kerlip lampu tampak indah terpantul dan membias. Laksana gemintang yang berkilau.
Tengah malam nan indah yang disapu dengan angin dingin membalut raga, menandai pergantian hari. Posisi geografis pada bujur timur yang semakin ”ke timur”, membawa kami dalam perbedaan waktu saat kami menapakkan kaki di Gilimanuk. Wellcome to Bali!
[Di Terminal Ubung, pada bingung...]
Setelah meninggalkan Gilimanuk dan perjalanan dilanjutkan ke Denpasar, setengah jam aku mencoba melawan kantuk, namun akhirnya tetaplah tak kuasa.
Pukul empat pagi (eh.. jam di ponselku masih WIB), aku terjaga dari tidurku yang nyenyak di dalam bis. ”Terminal Ubung. Kita sudah nyampe di Terminal Ubung, silakan turun!”
Dalam kantuk yang masih tersisa, di dini hari itu, kami bertiga belas turun. Nah, terasa sekali ada yang kurang dalam persiapan perjalanan ini. Koordinasi yang kurang, menuntut perdebatan kecil pada masalah yang sepele. ”Kita ke hotel naik apa?” ...Ehem.. ketauan deh, memang kalau capek dan ngantuk, bisa tulatit, ibarat hand phone, sinyalnya nggak nyambung. Tapi, semua ok, dan dengan angkot yang kami sewa lima puluh ribu rupiah (dengan acara eyel-eyelan, tentu saja), menujulah kami ke Hotel Rai di Jalan Diponegoro Denpasar. Bisa dibayangkan bagaimana kami bertiga belas berjejalan dalam angkot. Asyik dan seru.
Jarak sekitar 5 kilometer ditempuh dengan menikmati suasana dini hari di sebagian kecil Denpasar. Dalam perjalanan singkat itu, titik yang menarik adalah di Pasar K...,. Kehidupan sudah menggeliat. Pasar mulai hiruk pikuk. Kaum wanita tampak lebih banyak di sana. Hal menarik lainnya adalah janur kuning, yang biasanya kita lihat di Solo hanya beberapa lembar, di pasar ini terlihat bercolt-colt. Belum lagi janur kuning yang sudah terangkai indah. Di keremangan dini hari itu pun, kulihat beberapa siluet penjor yang berbaris rapi di pinggir jalan, seolah ramah menyambut kami. Inilah yang membuat aku merasa ”sudah berada di Bali”.
Monday, February 11, 2008
Sebuah Perjalanan (bagian 1)
[sebuah adegan iklan rokok di televisi]
Tiga pemuda berjingkrak-jingkrak begitu menyadari mereka menginjakkan kakinya di Bali.
Adegan tersebut cukup mewakili perasaanku ketika akan memulai perjalanan ini ke Bali. Siapa ya yang enggak tau Bali? “Sempalan” Nirwana Sang Dewa yang jatuh di bumi Indonesia, suatu tempat yang menyajikan eksotika keindahan alam dan budaya.
Bali memang sudah terkenal. Bahkan, konon banyak “orang bule” yang lebih tau Bali ketimbang Indonesia yang lainnya. Ada yang waktu ditanya tentang Indonesia, mereka menjawab,”Ibukota Indonesia adalah Bali.” Nah lho!
Bali...? Wuih..!
[pada segmen berikutnya, aku akan menceritakan sebagian kecil dari Bali yang aku alami di 29 Januari 2008 hingga 2 Februari 2008]
OTW [Jaten – Purwosari] 07.30 - 08.15 WIB
on the way
Bepergian bertepatan dengan hari pemakaman Sang Mantan Presiden ternyata cukup merepotkan. Aku harus membuat strategi jalur mana yang bisa aku tempuh dari rumahku di Jaten, agar nyampe di Stasiun Purwosari tepat waktu. Kami berduabelas sepakat berkumpul untuk start dari Stasiun Purwosari menggunakan kereta api ekonomi Sri Tanjung.
Luar biasa! Hebat! Itu kesan yang aku tangkap sepanjang perjalanan Jaten, Palur, Kampus UNS, Sekar Pace, RS Muwardi dan Hotel Asia - sepanjang kurang lebih 10 km. Bayangkan saja, nggak lebih dari tiap 40 meter, selau ada personil dari tentara dan atau polisi yang juga dibantu oleh jajaran Hansip dan DLLAJR. Barisan yang rapi dan cukup membuat “segan” untuk berada di tepi jalan sekedar menunggu bis kota.
[Sayang aku tidak bisa “meliput” langsung kejadian selengkapnya dari Solo, karena aku telah memutuskan untuk berkelana, menemukan pengalaman baru di Bali.]
Aku jadi berpikir, memang “Beliau” orang yang “hebat”. Kemangkatannya saja “disegani”, apalagi dulu waktu 32 tahun berkuasa di bumi pertiwi. Pantas saja pemerintahan berikutnya hanya “menari poco-poco” ketika harus mengadili Beliau dan kroni-kroninya. Eh, tau kan cara menari poco-poco? Dua langkah ke kanan, dua langkah ke kiri, ke belakang 2 langkah, lalu ke depan sambil hadap kiri. Kemudian diulangi gerakan dua langkah ke kanan, dua langkah ke kiri, ke belakang 2 langkah, ke depan sambil hadap kiri. Kalau sudah empat kali, akan kembali ke posisi semula, alias jalan di tempat (ya, walaupun kelihatannya bergerak rancak, ternyata tetep aja nggak pindah tempat). Ah.. ngelantur…
OTW [Purwosari, Solo - Banyuwangi] Kereta Api Sri Tanjung, 09.00 – 23.15 WIB
on the way
Rp. 38.000,-
Apa yang terbayang dari jumlah rupiah tersbut dengan pengalaman perjalanan ini ya?
Berebut tempat duduk. Itu strategi pertama yang mesti dilakukan, agar bisa bareng-bareng, setidaknya 13 orang dalam satu gerbong. Biar di jalan (di atas rel, tepatnya ya) kami bisa ngobrol. Syukur-syukur bisa ngobrolin pengalaman dengan “kesadaran arsitekural” (aku pinjam istilah dari Pak Edy Hardjanto, yang ternyata udah naik Sri Tanjung dari Lempuyangan Jogja).
Sri Tanjung. Tentu bukan kelas eksekutif dengan segala fasilitasnya yang kami dapatkan. Tidak perlu membayangkan senyuman manis ”pramugari kereta” yang dengan ramah menunjukkan tempat duduk sesuai nomor yang tercantum dalam tiket. Bunuh saja bayangan tentang kursi empuk yang sandarannya bisa diatur tegak atau tiduran, yang berbaris rapi dan semua menghadap ke depan. Kuburlah bayangan tentang kesejukan gerbong dengan AC yang ”sumilir” dan harum ditingkahi pengharum ruangan beraroma lavender. Buang jauh-jauh alunan merdu musik yang lamat-lamat terdengar dalam gerbong untuk mengiringi perjalanan. Hempaskan juga bayangan tentang tayangan televisi dengan video yang apik sepanjang perjalanan.
Tiga puluh delapan ribu rupiah identik dengan gebong tua dengan deretan bangku 2-2 atau 2-3 berhadap-hadapan, lutut ketemu lutut, sandaran pada posisi 90 derajat. Tegak lurus, cukup untuk memaksa tulang belakang tegak siap siaga (..eh, seperti tentara dalam barisan sikap sempurna ya!). Perjalanan dimulai dari jam 09.00 WIB, dan akan sampai diperkirakan pada pukul 10 malam (kalo enggak telat) – silakan dihitung berapa lama waktu tempuhnya. Dari durasi tersebut, kami akan kuat berapa lama ya dalam ”kenyamanan” duduk dalam posisi siap siaga? Mengamati perilaku penumpang yang lain menjadi hal yang mengasyikan bagiku. Karena pasti selalu ada penumpang yang mengubah posisi, mencari posisi duduk yang paling nyaman di antara semua ketidaknyaman. Berbagai gaya duduk (bahkan berdiri, jongkok dan nangkring) sudah dicoba. Hasilnya? No comment.., dech!
Setelah berebut tempat duduk (kerena memang dalam tiket tidak dicantumkan nomor tempat duduk), yang mendapat bangku menghadap ke depan (maksudnya, searah laju kereta) akan berdalih, ”Kami beruntung, bisa menatap masa depan”. Namun, tak kalah dari ”golongan” tersebut, yaitu yang mendapat tempat duduk menghadap ke belakang pun berujar, ”Kami beruntung, karena kami adalah manusia yang tidak melupakan sejarah dan masa lalu”. Ihiik.., kita semua tau, pernyataan tersebut hanya untuk mengibur diri, dari pada pusing memperhatikan ”larinya pohon-pohon dan tiang telepon” tunduk patuh mengikuti hukum gerak relatif. Ungkapan apa pun itu, sebenarnya menunjukkan kami termasuk manusia yang selalu beruntung, di manapun posisinya. He..he...
[Backpacker]
Belum puas membaca ”Edensor”-nya Andrea Hirata (bagian ketiga tetralogi Laskar Pelangi) yang mengisahkan perjalanan backpacker Ikal dan Arai, mengejar impian masa kecilnya, mengelana Eropa-Rusia-Afrika, tertantang juga aku untuk mengikuti backpacker ke Bali. (Ih.. nggak seimbang pembandingnya ya..!)
Bukannya tidak mampu mendapatkan layanan kelas eksekutif, tapi petualangan dan tantanganlah yang aku cari. Mengalami ruang, berada di suatu tempat dalam balutan suasana yang berbeda dari rutinitas keseharian adalah hal utama yang aku inginkan.
[Sebenarnya ini pun bukan murni perjalanan ”liburan”, karena ini perjalanan ini adalah ”paket” KKL – Kuliah Kerja Lapangan]
[rumah-kampus-kantor LSM-lokasi pendampingan-”tempat nongkrong” (yang ini nggak perlu aku sebutkan satu persatu)] Jalur rutinitas ini ingin aku lupakan sejenak.
Gerbong sumpek dengan aneka aroma berbaur menjadi satu (aku kesulitan untuk mendefinisikan dalam kalimat yang jelas untuk menggambarkan aroma ini). Riuh rendahnya gemeletak suara roda besi kereta berdesing beradu besi rel dan disenandungi derak bantalan beton rel. Suara tersebut mengiringi irama mesin lokomotif yang sesekali diributi oleh ”klakson” kereta yang menjerit hingga mempu memecahkan gendang telinga. Namun semua terdengar indah ketika berpadu dengan suara nit-nut-nit-nit irama khas pelintasan kereta api yang menarikan kedap-kedip lampu merah. Dan, kereta api ku pun melaju dengan anggun, disaksikan oleh berpasang-pasang mata pengendara dan penumpang bis, mobil, motor dan moda lainnya (dengan tatapan pasrah, atau pilihan berikutnya adalah tatapan ketidaksabaran ketika hanya kereta api saja yang boleh melaju). Ada ”rasa kemenangan” yang menggelitik hatiku. Atau tepatnya ini kemenangan eh, dimenangkannya moda panjang bergandengan di atas rel yang memang tidak bisa berhenti mendadak.
Pemandangan kemenangan ini aku saksikan dari jendela kaca berukuran kurang lebih 1,2 meter kali 1 meter. Dengan kaca ”bening” (baca: tidak diberi lapisan untuk mereduksi panas dan silau), jadi terbayang kan, bagaimana gerbong kami dengan sepenuh hati menerima sebanyak-banyaknya sinar matahari ke dalam gerbong, dan tentu saja akan disimpan panasnya hingga kerangka dan seluruh badan besi kereta kami melepaskan konveksi panasnya setelah malam dengan udara dinginnya menyelimuti bumi. Itu artinya, sekitar sepuluh jam dari pertama aku meletakkan pantatku di bangku yang tidak bisa dibilang empuk. Tak heran bila sepanjang perjalanan, sebagian besar orang dalam gerbong berusaha mengibas-ibaskan koran, jaket atau benda apa pun untuk ”kipasan”. Sekedar menggerakkan udara panas, untuk lagi-lagi ”menghibur diri” dengan mendapatkan sedikit hembusan angin (yang tentu saja tetap panas). Bahkan ada pikiran terlintas dalam benakku, sebanding nggak ya energi yang dikeluarkan untuk kipasan dengan kenyamanan termal yang didapatkan. [Ingat hukum keseimbangan energi, pemindahan pelepasan energi panas (mestinya) sama dengan penerimanaan energi dingin.... auk aahh... nggak tau lah...]
[Mau murah, enggak boleh nyaman ya?!]
Keringatan dan sumuk? Itu pasti! Lengket!
Harum mewangi? Tentu tidak!
Kebayangkan kan sekilas suasana dalam gerbongku? Tapi bukankah sebenarnya gerbong tersebut bisa didesain dengan mengolah bukaan yang ”menangkap” angin, untuk bisa masuk menyusuri gerbong dan menebarkan kesejukan? Mengapa tidak dibuat sirip-sirip pada jendela dan melengkapi exhaust fan pada atap gerbongnya, sehingga angin segar sejuk masuk, dan udara panas bisa terdorong terangkat ke atas untuk dikeluarkan dari gerbong ya?
Kalo perkara supaya silau nggak masuk, jendela bisa dilengkapi ”gorden”, tapi pilih bahan yang enggak gampang kotor menangkap debu, dan pasti mudah dibersihkan. [Nyanyian itu begitu merdu...]
”Nasi ayam.., nasi ayam...”, ”...yang dingin, aqua, dua ribu....”, ”tahu asin..., tahu asin...seribu..”, ”kopi, Mas.., Pop Mi, Mbak...”
”Nyanyian itu” begitu merdu terdengar. (Bagian ini sepertinya aku agak melebih-lebihkan ya..)
Bergantian Mbok Bakul, Pak-pak, Mas-mas menawarkan dagangannya. Bersahut-sahutan. Belum lagi lagu, nyanyian, nyanyian yang sebenar-benarnya dilantunkan oleh beberapa pengamen dengan berbagai nada dasar dan instrumen pengiring, membuat suasana gerbong semakin seru. Ada pula pembacaan puisi, suaranya menggema di seantero gerbong, berebut frekuensi dengan aneka bebunyian dan suara. [Oh.. hebat juga kualitas suaranya, bisa sekeras itu! Aku jadi membayangkan, coba bila aku punya suara sekeras itu, jadi nggak perlu tambahan sound system jika harus berbicara di ruang kelas 203 Gedung II Arsitektur UNS ya! ...Gimana latihan vokalnya? A-I-U-E-O...Eheemmm...]
Di antara sekian ”usaha” mengumpulkan kepingan recehan, ada yang cukup menarik perhatianku. Modalnya cuma 1 (baca: satu) kaleng pengharum ruangan. Crut sana, crut sini. Seketika harum (walaupun kamuflase) semerbak menggelitik bulu hidungku. Wah, pinter juga menyikapi peluang dengan adanya ”kebutuhan pasar”, pasti kan orang-orang - dalam gerbong yang sulit didefinisikan baunya - merindukan harum semerbak mewangi di gerbong ini ya... Gemerincing cepek gopek pun terdengar memenuhi kantong bekas bungkus rokok yang disodorkan ke para penumpang. Dan serunya lagi, ”aktor crut-crut” tadi adalah ”penyanyi” yang lima belas menit lalu mengamen menyanyikan lagu Sebelum Cahaya-nya Letto. Profesi ganda nih!
Ada saja ya cara orang menjemput rejeki-Nya. Berbagai benda dapat dijual, dari jenis makanan (nasi, pecel, salak, nanas, dodol, wingko, kerupuk, dan temen-temennya), bermacam pakaian (baju batik, daster, celana pendek, dan kaos kesebelasan), aneka mainan (boneka, mobil-mobilan, hp-hp-an, laba-labaan dan sebagainya), dan alat-alat rumah tangga (pisau, pemotong kuku, kipas, peniti dan kawan-kawannya). Berbagai jasa juga ditawarkan (seperti semprot “crut-crut” dan nyapu kolong). Bahkan ada yang mensual alat penyulut kompor minyak tanah (kompor yang sekarang lagi gencar-gencarnya dikonversi ke kompor gas oleh pemerintah). Aku nggak kebayang aja antara benda yang dijual dengan setting tempat menjualnya, enggak kontekstual..!
Keringat mereka bercucuran, tetapi tetap bersemangat. Bahkan hingga mentari telah tenggelam, masih saja ada pedagang yang mondar-mandir dari gerbong paling depan hingga gerbong paling belakang untuk menjajakan dagangannya. Berapa ya jarak tempuh yang mereka lakoni selama dalam kereta, terus dihitung juga jarak relatif dengan jarak yang ditempuh kereta. Memang bisa dihitung, walaupun pasti rumit dengan rumus yang mengikuti hukum gerak relatif. Tapi, siapa yang peduli dengan hitungan ini sih? Yang penting kan Tuhan tau usaha hamba-Nya dalam menjemput rejeki.
Aku jadi merefleksikan diri. Biasanya dalam rutinitasku, pada jam tenggelamnya matahari, aku sudah mandi, bersih segar, harum dan sudah duduk manis di kamar tidurku yang nyaman, membaca Al Qur’an atau buku-buku yang lain. Ragaku memang ada dalam kamar berukuran 2,5X3 meter persegi tersebut, namun pikiran dan jiwaku bisa berkelana tanpa harus ”pergi”. Aku yang kemarin sempat menggerutu di balik tumpukan pekerjaan, kini jadi bersyukur, setelah membandingkan nikmatnya memiliki pekerjaan yang aku bisa mengatur waktunya. Aku bisa menjemput rejeki dengan cara yang telah dipilihkan-Nya untukku.
”Pelajaran moral” (ini istilahnya Andrea Hirata di Laskar Pelangi) yang aku dapat: bersyukur atas kenyamanan pekerjaan ini.
[Hey, tapi aku juga harus tetep ingat untuk berani keluar dari zona nyaman dan menghadapi tantangan yang lebih seru!]
(bersambung...)