Mudik. Pulang kampung. Pulang kampung bagiku adalah seperti menyusuri kembali sudut-sudut ruang masa lalu. Menengok masa lalu, membuka memori, mengingat apa yang pernah dijalani. Sedikit melankolis.
Bagiku, dengan "berada" dalam ruang yang aku "dulu pernah", merupakan kenikmatan atas kerinduan terhadap ruang. Tentu saja setting sudah berbeda. Jendela yang dulu kokoh, kini telah melapuk. Sungai jernih yang dulu aku "dus-dusan" (baca: main air, mandi), sekarang tanpak lebih kotor dan "cethek" (baca: dangkal). Tanah lapang yang dulu aku bisa berlari dan bersepeda mini, kini telah sesak oleh bangunan. Rumah tetangga yang dulu aku sering duduk-duduk di teras rumahnya sambil disuapin makan oleh Mbak Iyah (almh), kini telah berubah. Banyak yang telah berubah. Tapi jejaknya masih tetap ada. Sedikit romantisme masih tersisa.
Bertemu kembali dengan orang-orang di masa laluku. Yang dulu saat kutinggalkan kampungku, adalah bayi baru lahir, kini sudah menjadi gadis remaja atau pria belia. Yang dulu anak-anak kecil adik sepermainan, sekarang sudah jadi orang dewasa. Yang dulu adalah teman sepermainanku waktu aku masih anak-anak, sekarang bertemu lagi masih tetap bermain, tetapi tentu bukan denganku, dengan anak-anaknya. Mereka sudah dipanggil Bu atau Pak oleh anak-anaknya. Yang dulu kakak sepermainan pun tak jauh berbeda, hanya gurat-gurat ketuaan yang lebih nyata. Yang dulu tua, sekarang tampak tuaaaa sekali. Ternyata waktu tak bisa menipu. Dan di luar yang aku sebutkan itu, ternyata ada yang sudah tidak bisa aku bertemu lagi, karena mereka telah dipanggil-Nya.
Sembilan hari menyusuri masa lalu. Wow!
Aku bersyukur atas perjalanan waktu.
Mudik? Aku masih membutuhkannya, untuk aku bisa lebih bersyukur.
Monday, October 6, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment