Beberapa saat sebelum senja membuat langit menjadi jingga, di Porong Sidoarjo, Sri Tanjung melintas dengan perlahan. Bukan keangkuhan yang disajikan. Bukan pula keinginan untuk melesat. Lihatlah di sekitar rel itu. Genangan lumpur Lapindo ternyata masih manis bertahan di sela-sela rel. Patuh pada takdirnya untuk kembali mengalir menuju tempat terendah, mencari celah di antara menjulang gagahnya tanggul, lumpur becek itu pun tetap mengalir dan kadang kala diam tergenang. Pemandangan di sisi kiri rel cukup menarik perhatian kami.
Bibir sibuk mengomentari dan membahas “Lusi” (nama kerennya Lumpur Sidoarjo). Mata tak henti memandang ke gundukan tanggul, sambil sibuk menggambil gambar dengan kamera, baik berupa foto maupun video. “Bisa buat oleh-oleh cerita nih..., setidaknya pernah lewat di Porong. Siapa tau kelak benar-benar tinggal kenangan, karena benar-benar terbenam lumpur,” ungkapan yang terdengar dari sampingku. Ya, siapa tau ya.. memang kemungkinan ini bisa terjadi. Kapan lumpur mau berhenti mencuat dari dalam perut bumi kan belum ada yang bisa memastikan.
[Ketapang, Banyuwangi...]
Hampir tengah malam. Untunglah aku bukan Cinderalla, yang harus terburu-buru pulang meninggalkan pesta, sehingga aku masih bisa menikmati hembusan angin laut di Pelabuhan Ketapang Banyuwangi. Kami akan menyeberang Selat Bali. Perlu menyiapkan KTP (Kartu Tanda Penduduk) nih!
Kembali, adegan sebuah iklan rokok mulai ditayangkan dalam benakku.
Bali... Bali... Baliiii.... Berasa lebih!
[Melewati pergantian hari dengan perbedaan waktu...]
Sesaat sebelum tengah malam, feri yang kami tumpangi membelah riak ombak Selat Bali. Bak kain sutra yang membentang, lembut halus, dan malam itu nyaris tanpa ombak, Selat Bali seperti ramah menyambut kami. Dalam kelam malam, kerlip lampu tampak indah terpantul dan membias. Laksana gemintang yang berkilau.
Tengah malam nan indah yang disapu dengan angin dingin membalut raga, menandai pergantian hari. Posisi geografis pada bujur timur yang semakin ”ke timur”, membawa kami dalam perbedaan waktu saat kami menapakkan kaki di Gilimanuk. Wellcome to Bali!
[Di Terminal Ubung, pada bingung...]
Setelah meninggalkan Gilimanuk dan perjalanan dilanjutkan ke Denpasar, setengah jam aku mencoba melawan kantuk, namun akhirnya tetaplah tak kuasa.
Pukul empat pagi (eh.. jam di ponselku masih WIB), aku terjaga dari tidurku yang nyenyak di dalam bis. ”Terminal Ubung. Kita sudah nyampe di Terminal Ubung, silakan turun!”
Dalam kantuk yang masih tersisa, di dini hari itu, kami bertiga belas turun. Nah, terasa sekali ada yang kurang dalam persiapan perjalanan ini. Koordinasi yang kurang, menuntut perdebatan kecil pada masalah yang sepele. ”Kita ke hotel naik apa?” ...Ehem.. ketauan deh, memang kalau capek dan ngantuk, bisa tulatit, ibarat hand phone, sinyalnya nggak nyambung. Tapi, semua ok, dan dengan angkot yang kami sewa lima puluh ribu rupiah (dengan acara eyel-eyelan, tentu saja), menujulah kami ke Hotel Rai di Jalan Diponegoro Denpasar. Bisa dibayangkan bagaimana kami bertiga belas berjejalan dalam angkot. Asyik dan seru.
Jarak sekitar 5 kilometer ditempuh dengan menikmati suasana dini hari di sebagian kecil Denpasar. Dalam perjalanan singkat itu, titik yang menarik adalah di Pasar K...,. Kehidupan sudah menggeliat. Pasar mulai hiruk pikuk. Kaum wanita tampak lebih banyak di sana. Hal menarik lainnya adalah janur kuning, yang biasanya kita lihat di Solo hanya beberapa lembar, di pasar ini terlihat bercolt-colt. Belum lagi janur kuning yang sudah terangkai indah. Di keremangan dini hari itu pun, kulihat beberapa siluet penjor yang berbaris rapi di pinggir jalan, seolah ramah menyambut kami. Inilah yang membuat aku merasa ”sudah berada di Bali”.
Sesaat sebelum tengah malam, feri yang kami tumpangi membelah riak ombak Selat Bali. Bak kain sutra yang membentang, lembut halus, dan malam itu nyaris tanpa ombak, Selat Bali seperti ramah menyambut kami. Dalam kelam malam, kerlip lampu tampak indah terpantul dan membias. Laksana gemintang yang berkilau.
Tengah malam nan indah yang disapu dengan angin dingin membalut raga, menandai pergantian hari. Posisi geografis pada bujur timur yang semakin ”ke timur”, membawa kami dalam perbedaan waktu saat kami menapakkan kaki di Gilimanuk. Wellcome to Bali!
[Di Terminal Ubung, pada bingung...]
Setelah meninggalkan Gilimanuk dan perjalanan dilanjutkan ke Denpasar, setengah jam aku mencoba melawan kantuk, namun akhirnya tetaplah tak kuasa.
Pukul empat pagi (eh.. jam di ponselku masih WIB), aku terjaga dari tidurku yang nyenyak di dalam bis. ”Terminal Ubung. Kita sudah nyampe di Terminal Ubung, silakan turun!”
Dalam kantuk yang masih tersisa, di dini hari itu, kami bertiga belas turun. Nah, terasa sekali ada yang kurang dalam persiapan perjalanan ini. Koordinasi yang kurang, menuntut perdebatan kecil pada masalah yang sepele. ”Kita ke hotel naik apa?” ...Ehem.. ketauan deh, memang kalau capek dan ngantuk, bisa tulatit, ibarat hand phone, sinyalnya nggak nyambung. Tapi, semua ok, dan dengan angkot yang kami sewa lima puluh ribu rupiah (dengan acara eyel-eyelan, tentu saja), menujulah kami ke Hotel Rai di Jalan Diponegoro Denpasar. Bisa dibayangkan bagaimana kami bertiga belas berjejalan dalam angkot. Asyik dan seru.
Jarak sekitar 5 kilometer ditempuh dengan menikmati suasana dini hari di sebagian kecil Denpasar. Dalam perjalanan singkat itu, titik yang menarik adalah di Pasar K...,. Kehidupan sudah menggeliat. Pasar mulai hiruk pikuk. Kaum wanita tampak lebih banyak di sana. Hal menarik lainnya adalah janur kuning, yang biasanya kita lihat di Solo hanya beberapa lembar, di pasar ini terlihat bercolt-colt. Belum lagi janur kuning yang sudah terangkai indah. Di keremangan dini hari itu pun, kulihat beberapa siluet penjor yang berbaris rapi di pinggir jalan, seolah ramah menyambut kami. Inilah yang membuat aku merasa ”sudah berada di Bali”.
(bersambung ...)
No comments:
Post a Comment