Tuesday, February 19, 2008

Sebuah Perjalanan (bagian kedua)

[cerita tentang Lusi...]
Beberapa saat sebelum senja membuat langit menjadi jingga, di Porong Sidoarjo, Sri Tanjung melintas dengan perlahan. Bukan keangkuhan yang disajikan. Bukan pula keinginan untuk melesat. Lihatlah di sekitar rel itu. Genangan lumpur Lapindo ternyata masih manis bertahan di sela-sela rel. Patuh pada takdirnya untuk kembali mengalir menuju tempat terendah, mencari celah di antara menjulang gagahnya tanggul, lumpur becek itu pun tetap mengalir dan kadang kala diam tergenang. Pemandangan di sisi kiri rel cukup menarik perhatian kami.





Bibir sibuk mengomentari dan membahas “Lusi” (nama kerennya Lumpur Sidoarjo). Mata tak henti memandang ke gundukan tanggul, sambil sibuk menggambil gambar dengan kamera, baik berupa foto maupun video. “Bisa buat oleh-oleh cerita nih..., setidaknya pernah lewat di Porong. Siapa tau kelak benar-benar tinggal kenangan, karena benar-benar terbenam lumpur,” ungkapan yang terdengar dari sampingku. Ya, siapa tau ya.. memang kemungkinan ini bisa terjadi. Kapan lumpur mau berhenti mencuat dari dalam perut bumi kan belum ada yang bisa memastikan.

[Ketapang, Banyuwangi...]
Hampir tengah malam. Untunglah aku bukan Cinderalla, yang harus terburu-buru pulang meninggalkan pesta, sehingga aku masih bisa menikmati hembusan angin laut di Pelabuhan Ketapang Banyuwangi. Kami akan menyeberang Selat Bali. Perlu menyiapkan KTP (Kartu Tanda Penduduk) nih!

Kembali, adegan sebuah iklan rokok mulai ditayangkan dalam benakku.
Bali... Bali... Baliiii.... Berasa lebih!


[Melewati pergantian hari dengan perbedaan waktu...]
Sesaat sebelum tengah malam, feri yang kami tumpangi membelah riak ombak Selat Bali. Bak kain sutra yang membentang, lembut halus, dan malam itu nyaris tanpa ombak, Selat Bali seperti ramah menyambut kami. Dalam kelam malam, kerlip lampu tampak indah terpantul dan membias. Laksana gemintang yang berkilau.
Tengah malam nan indah yang disapu dengan angin dingin membalut raga, menandai pergantian hari. Posisi geografis pada bujur timur yang semakin ”ke timur”, membawa kami dalam perbedaan waktu saat kami menapakkan kaki di Gilimanuk. Wellcome to Bali!

[Di Terminal Ubung, pada bingung...]
Setelah meninggalkan Gilimanuk dan perjalanan dilanjutkan ke Denpasar, setengah jam aku mencoba melawan kantuk, namun akhirnya tetaplah tak kuasa.
Pukul empat pagi (eh.. jam di ponselku masih WIB), aku terjaga dari tidurku yang nyenyak di dalam bis. ”Terminal Ubung. Kita sudah nyampe di Terminal Ubung, silakan turun!”
Dalam kantuk yang masih tersisa, di dini hari itu, kami bertiga belas turun. Nah, terasa sekali ada yang kurang dalam persiapan perjalanan ini. Koordinasi yang kurang, menuntut perdebatan kecil pada masalah yang sepele. ”Kita ke hotel naik apa?” ...Ehem.. ketauan deh, memang kalau capek dan ngantuk, bisa tulatit, ibarat hand phone, sinyalnya nggak nyambung. Tapi, semua ok, dan dengan angkot yang kami sewa lima puluh ribu rupiah (dengan acara eyel-eyelan, tentu saja), menujulah kami ke Hotel Rai di Jalan Diponegoro Denpasar. Bisa dibayangkan bagaimana kami bertiga belas berjejalan dalam angkot. Asyik dan seru.
Jarak sekitar 5 kilometer ditempuh dengan menikmati suasana dini hari di sebagian kecil Denpasar. Dalam perjalanan singkat itu, titik yang menarik adalah di Pasar K...,. Kehidupan sudah menggeliat. Pasar mulai hiruk pikuk. Kaum wanita tampak lebih banyak di sana. Hal menarik lainnya adalah janur kuning, yang biasanya kita lihat di Solo hanya beberapa lembar, di pasar ini terlihat bercolt-colt. Belum lagi janur kuning yang sudah terangkai indah. Di keremangan dini hari itu pun, kulihat beberapa siluet penjor yang berbaris rapi di pinggir jalan, seolah ramah menyambut kami. Inilah yang membuat aku merasa ”sudah berada di Bali”.

(bersambung ...)

Monday, February 11, 2008

Sebuah Perjalanan (bagian 1)

Bali... Bali... Baliiii... Berasa lebih!
[sebuah adegan iklan rokok di televisi]
Tiga pemuda berjingkrak-jingkrak begitu menyadari mereka menginjakkan kakinya di Bali.

Adegan tersebut cukup mewakili perasaanku ketika akan memulai perjalanan ini ke Bali. Siapa ya yang enggak tau Bali? “Sempalan” Nirwana Sang Dewa yang jatuh di bumi Indonesia, suatu tempat yang menyajikan eksotika keindahan alam dan budaya.
Bali memang sudah terkenal. Bahkan, konon banyak “orang bule” yang lebih tau Bali ketimbang Indonesia yang lainnya. Ada yang waktu ditanya tentang Indonesia, mereka menjawab,”Ibukota Indonesia adalah Bali.” Nah lho!

Bali...? Wuih..!
[pada segmen berikutnya, aku akan menceritakan sebagian kecil dari Bali yang aku alami di 29 Januari 2008 hingga 2 Februari 2008]

OTW [Jaten – Purwosari] 07.30 - 08.15 WIB
on the way
Bepergian bertepatan dengan hari pemakaman Sang Mantan Presiden ternyata cukup merepotkan. Aku harus membuat strategi jalur mana yang bisa aku tempuh dari rumahku di Jaten, agar nyampe di Stasiun Purwosari tepat waktu. Kami berduabelas sepakat berkumpul untuk start dari Stasiun Purwosari menggunakan kereta api ekonomi Sri Tanjung.

Luar biasa! Hebat! Itu kesan yang aku tangkap sepanjang perjalanan Jaten, Palur, Kampus UNS, Sekar Pace, RS Muwardi dan Hotel Asia - sepanjang kurang lebih 10 km. Bayangkan saja, nggak lebih dari tiap 40 meter, selau ada personil dari tentara dan atau polisi yang juga dibantu oleh jajaran Hansip dan DLLAJR. Barisan yang rapi dan cukup membuat “segan” untuk berada di tepi jalan sekedar menunggu bis kota.
Pagi itu, angkasa di atas Solo diramaikan oleh burung-burung besi yang mengantarkan orang-orang penting dari dalam dan luar negeri yang hendak mengantarkan jenazah Sang Mantan Presiden ke pembaringan terakhirnya di Astana Giribangun. “Indonesia 1” dan “Indonesia 2”, lengkap dengan jajaran menterinya, serta beberapa kepala negara dan raja, juga utusan terhormat dari negara sahabat tak mau ketinggalan. Sirine meraung-raung, meminta (dengan sedikit memaksa tentunya) agar bisa diberi jalan yang bebas hambatan untuk mereka lewati. Pemandangan yang sungguh jarang ditemukan di Solo.
[Sayang aku tidak bisa “meliput” langsung kejadian selengkapnya dari Solo, karena aku telah memutuskan untuk berkelana, menemukan pengalaman baru di Bali.]

Aku jadi berpikir, memang “Beliau” orang yang “hebat”. Kemangkatannya saja “disegani”, apalagi dulu waktu 32 tahun berkuasa di bumi pertiwi. Pantas saja pemerintahan berikutnya hanya “menari poco-poco” ketika harus mengadili Beliau dan kroni-kroninya. Eh, tau kan cara menari poco-poco? Dua langkah ke kanan, dua langkah ke kiri, ke belakang 2 langkah, lalu ke depan sambil hadap kiri. Kemudian diulangi gerakan dua langkah ke kanan, dua langkah ke kiri, ke belakang 2 langkah, ke depan sambil hadap kiri. Kalau sudah empat kali, akan kembali ke posisi semula, alias jalan di tempat (ya, walaupun kelihatannya bergerak rancak, ternyata tetep aja nggak pindah tempat). Ah.. ngelantur…

OTW [Purwosari, Solo - Banyuwangi] Kereta Api Sri Tanjung, 09.00 – 23.15 WIB
on the way


Rp. 38.000,-
Apa yang terbayang dari jumlah rupiah tersbut dengan pengalaman perjalanan ini ya?

Berebut tempat duduk. Itu strategi pertama yang mesti dilakukan, agar bisa bareng-bareng, setidaknya 13 orang dalam satu gerbong. Biar di jalan (di atas rel, tepatnya ya) kami bisa ngobrol. Syukur-syukur bisa ngobrolin pengalaman dengan “kesadaran arsitekural” (aku pinjam istilah dari Pak Edy Hardjanto, yang ternyata udah naik Sri Tanjung dari Lempuyangan Jogja).

Sri Tanjung. Tentu bukan kelas eksekutif dengan segala fasilitasnya yang kami dapatkan. Tidak perlu membayangkan senyuman manis ”pramugari kereta” yang dengan ramah menunjukkan tempat duduk sesuai nomor yang tercantum dalam tiket. Bunuh saja bayangan tentang kursi empuk yang sandarannya bisa diatur tegak atau tiduran, yang berbaris rapi dan semua menghadap ke depan. Kuburlah bayangan tentang kesejukan gerbong dengan AC yang ”sumilir” dan harum ditingkahi pengharum ruangan beraroma lavender. Buang jauh-jauh alunan merdu musik yang lamat-lamat terdengar dalam gerbong untuk mengiringi perjalanan. Hempaskan juga bayangan tentang tayangan televisi dengan video yang apik sepanjang perjalanan.

Tiga puluh delapan ribu rupiah identik dengan gebong tua dengan deretan bangku 2-2 atau 2-3 berhadap-hadapan, lutut ketemu lutut, sandaran pada posisi 90 derajat. Tegak lurus, cukup untuk memaksa tulang belakang tegak siap siaga (..eh, seperti tentara dalam barisan sikap sempurna ya!). Perjalanan dimulai dari jam 09.00 WIB, dan akan sampai diperkirakan pada pukul 10 malam (kalo enggak telat) – silakan dihitung berapa lama waktu tempuhnya. Dari durasi tersebut, kami akan kuat berapa lama ya dalam ”kenyamanan” duduk dalam posisi siap siaga? Mengamati perilaku penumpang yang lain menjadi hal yang mengasyikan bagiku. Karena pasti selalu ada penumpang yang mengubah posisi, mencari posisi duduk yang paling nyaman di antara semua ketidaknyaman. Berbagai gaya duduk (bahkan berdiri, jongkok dan nangkring) sudah dicoba. Hasilnya? No comment.., dech!

Setelah berebut tempat duduk (kerena memang dalam tiket tidak dicantumkan nomor tempat duduk), yang mendapat bangku menghadap ke depan (maksudnya, searah laju kereta) akan berdalih, ”Kami beruntung, bisa menatap masa depan”. Namun, tak kalah dari ”golongan” tersebut, yaitu yang mendapat tempat duduk menghadap ke belakang pun berujar, ”Kami beruntung, karena kami adalah manusia yang tidak melupakan sejarah dan masa lalu”. Ihiik.., kita semua tau, pernyataan tersebut hanya untuk mengibur diri, dari pada pusing memperhatikan ”larinya pohon-pohon dan tiang telepon” tunduk patuh mengikuti hukum gerak relatif. Ungkapan apa pun itu, sebenarnya menunjukkan kami termasuk manusia yang selalu beruntung, di manapun posisinya. He..he...

[Backpacker]
Belum puas membaca ”Edensor”-nya Andrea Hirata (bagian ketiga tetralogi Laskar Pelangi) yang mengisahkan perjalanan backpacker Ikal dan Arai, mengejar impian masa kecilnya, mengelana Eropa-Rusia-Afrika, tertantang juga aku untuk mengikuti backpacker ke Bali. (Ih.. nggak seimbang pembandingnya ya..!)
Bukannya tidak mampu mendapatkan layanan kelas eksekutif, tapi petualangan dan tantanganlah yang aku cari. Mengalami ruang, berada di suatu tempat dalam balutan suasana yang berbeda dari rutinitas keseharian adalah hal utama yang aku inginkan.
[Sebenarnya ini pun bukan murni perjalanan ”liburan”, karena ini perjalanan ini adalah ”paket” KKL – Kuliah Kerja Lapangan]

[rumah-kampus-kantor LSM-lokasi pendampingan-”tempat nongkrong” (yang ini nggak perlu aku sebutkan satu persatu)] Jalur rutinitas ini ingin aku lupakan sejenak.

Gerbong sumpek dengan aneka aroma berbaur menjadi satu (aku kesulitan untuk mendefinisikan dalam kalimat yang jelas untuk menggambarkan aroma ini). Riuh rendahnya gemeletak suara roda besi kereta berdesing beradu besi rel dan disenandungi derak bantalan beton rel. Suara tersebut mengiringi irama mesin lokomotif yang sesekali diributi oleh ”klakson” kereta yang menjerit hingga mempu memecahkan gendang telinga. Namun semua terdengar indah ketika berpadu dengan suara nit-nut-nit-nit irama khas pelintasan kereta api yang menarikan kedap-kedip lampu merah. Dan, kereta api ku pun melaju dengan anggun, disaksikan oleh berpasang-pasang mata pengendara dan penumpang bis, mobil, motor dan moda lainnya (dengan tatapan pasrah, atau pilihan berikutnya adalah tatapan ketidaksabaran ketika hanya kereta api saja yang boleh melaju). Ada ”rasa kemenangan” yang menggelitik hatiku. Atau tepatnya ini kemenangan eh, dimenangkannya moda panjang bergandengan di atas rel yang memang tidak bisa berhenti mendadak.

Pemandangan kemenangan ini aku saksikan dari jendela kaca berukuran kurang lebih 1,2 meter kali 1 meter. Dengan kaca ”bening” (baca: tidak diberi lapisan untuk mereduksi panas dan silau), jadi terbayang kan, bagaimana gerbong kami dengan sepenuh hati menerima sebanyak-banyaknya sinar matahari ke dalam gerbong, dan tentu saja akan disimpan panasnya hingga kerangka dan seluruh badan besi kereta kami melepaskan konveksi panasnya setelah malam dengan udara dinginnya menyelimuti bumi. Itu artinya, sekitar sepuluh jam dari pertama aku meletakkan pantatku di bangku yang tidak bisa dibilang empuk. Tak heran bila sepanjang perjalanan, sebagian besar orang dalam gerbong berusaha mengibas-ibaskan koran, jaket atau benda apa pun untuk ”kipasan”. Sekedar menggerakkan udara panas, untuk lagi-lagi ”menghibur diri” dengan mendapatkan sedikit hembusan angin (yang tentu saja tetap panas). Bahkan ada pikiran terlintas dalam benakku, sebanding nggak ya energi yang dikeluarkan untuk kipasan dengan kenyamanan termal yang didapatkan. [Ingat hukum keseimbangan energi, pemindahan pelepasan energi panas (mestinya) sama dengan penerimanaan energi dingin.... auk aahh... nggak tau lah...]

[Mau murah, enggak boleh nyaman ya?!]
Keringatan dan sumuk? Itu pasti! Lengket!
Harum mewangi? Tentu tidak!

Kebayangkan kan sekilas suasana dalam gerbongku? Tapi bukankah sebenarnya gerbong tersebut bisa didesain dengan mengolah bukaan yang ”menangkap” angin, untuk bisa masuk menyusuri gerbong dan menebarkan kesejukan? Mengapa tidak dibuat sirip-sirip pada jendela dan melengkapi exhaust fan pada atap gerbongnya, sehingga angin segar sejuk masuk, dan udara panas bisa terdorong terangkat ke atas untuk dikeluarkan dari gerbong ya?
Kalo perkara supaya silau nggak masuk, jendela bisa dilengkapi ”gorden”, tapi pilih bahan yang enggak gampang kotor menangkap debu, dan pasti mudah dibersihkan. [Nyanyian itu begitu merdu...]
”Nasi ayam.., nasi ayam...”, ”...yang dingin, aqua, dua ribu....”, ”tahu asin..., tahu asin...seribu..”, ”kopi, Mas.., Pop Mi, Mbak...”

”Nyanyian itu” begitu merdu terdengar. (Bagian ini sepertinya aku agak melebih-lebihkan ya..)
Bergantian Mbok Bakul, Pak-pak, Mas-mas menawarkan dagangannya. Bersahut-sahutan. Belum lagi lagu, nyanyian, nyanyian yang sebenar-benarnya dilantunkan oleh beberapa pengamen dengan berbagai nada dasar dan instrumen pengiring, membuat suasana gerbong semakin seru. Ada pula pembacaan puisi, suaranya menggema di seantero gerbong, berebut frekuensi dengan aneka bebunyian dan suara. [Oh.. hebat juga kualitas suaranya, bisa sekeras itu! Aku jadi membayangkan, coba bila aku punya suara sekeras itu, jadi nggak perlu tambahan sound system jika harus berbicara di ruang kelas 203 Gedung II Arsitektur UNS ya! ...Gimana latihan vokalnya? A-I-U-E-O...Eheemmm...]

Di antara sekian ”usaha” mengumpulkan kepingan recehan, ada yang cukup menarik perhatianku. Modalnya cuma 1 (baca: satu) kaleng pengharum ruangan. Crut sana, crut sini. Seketika harum (walaupun kamuflase) semerbak menggelitik bulu hidungku. Wah, pinter juga menyikapi peluang dengan adanya ”kebutuhan pasar”, pasti kan orang-orang - dalam gerbong yang sulit didefinisikan baunya - merindukan harum semerbak mewangi di gerbong ini ya... Gemerincing cepek gopek pun terdengar memenuhi kantong bekas bungkus rokok yang disodorkan ke para penumpang. Dan serunya lagi, ”aktor crut-crut” tadi adalah ”penyanyi” yang lima belas menit lalu mengamen menyanyikan lagu Sebelum Cahaya-nya Letto. Profesi ganda nih!

Ada saja ya cara orang menjemput rejeki-Nya. Berbagai benda dapat dijual, dari jenis makanan (nasi, pecel, salak, nanas, dodol, wingko, kerupuk, dan temen-temennya), bermacam pakaian (baju batik, daster, celana pendek, dan kaos kesebelasan), aneka mainan (boneka, mobil-mobilan, hp-hp-an, laba-labaan dan sebagainya), dan alat-alat rumah tangga (pisau, pemotong kuku, kipas, peniti dan kawan-kawannya). Berbagai jasa juga ditawarkan (seperti semprot “crut-crut” dan nyapu kolong). Bahkan ada yang mensual alat penyulut kompor minyak tanah (kompor yang sekarang lagi gencar-gencarnya dikonversi ke kompor gas oleh pemerintah). Aku nggak kebayang aja antara benda yang dijual dengan setting tempat menjualnya, enggak kontekstual..!

Keringat mereka bercucuran, tetapi tetap bersemangat. Bahkan hingga mentari telah tenggelam, masih saja ada pedagang yang mondar-mandir dari gerbong paling depan hingga gerbong paling belakang untuk menjajakan dagangannya. Berapa ya jarak tempuh yang mereka lakoni selama dalam kereta, terus dihitung juga jarak relatif dengan jarak yang ditempuh kereta. Memang bisa dihitung, walaupun pasti rumit dengan rumus yang mengikuti hukum gerak relatif. Tapi, siapa yang peduli dengan hitungan ini sih? Yang penting kan Tuhan tau usaha hamba-Nya dalam menjemput rejeki.
Aku jadi merefleksikan diri. Biasanya dalam rutinitasku, pada jam tenggelamnya matahari, aku sudah mandi, bersih segar, harum dan sudah duduk manis di kamar tidurku yang nyaman, membaca Al Qur’an atau buku-buku yang lain. Ragaku memang ada dalam kamar berukuran 2,5X3 meter persegi tersebut, namun pikiran dan jiwaku bisa berkelana tanpa harus ”pergi”. Aku yang kemarin sempat menggerutu di balik tumpukan pekerjaan, kini jadi bersyukur, setelah membandingkan nikmatnya memiliki pekerjaan yang aku bisa mengatur waktunya. Aku bisa menjemput rejeki dengan cara yang telah dipilihkan-Nya untukku.

”Pelajaran moral” (ini istilahnya Andrea Hirata di Laskar Pelangi) yang aku dapat: bersyukur atas kenyamanan pekerjaan ini.
[Hey, tapi aku juga harus tetep ingat untuk berani keluar dari zona nyaman dan menghadapi tantangan yang lebih seru!]

(bersambung...)

Wednesday, February 6, 2008

Kembali dari Pulau Bali

...menyusuri toilet umum dan kamar mandi selama perjalanan Solo-Bali, aku jadi bertanya, apa bener kita sudah siap dengan "Visit Indonesia Year 2008".
... atau sebuah slogan belaka ya...